1Detik.info-Probolinggo, – Gema pembangunan berkelanjutan dan tata kelola pertambangan yang bersih rupanya masih jauh dari harapan di Jawa Timur. Di balik semangat pemerintah untuk menata sektor energi dan sumber daya mineral, terselip kisah getir yang kini mulai mencuat ke permukaan: dugaan praktik pungutan liar (pungli) di lingkungan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Timur.
Dugaan ini diungkap langsung oleh Yoyok, seorang pelaku usaha tambang sekaligus aktivis yang dikenal vokal memperjuangkan keterbukaan dalam tata kelola sumber daya alam. Menurutnya, selama hampir dua tahun terakhir, proses pengurusan Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan penyusunan dokumen tekno tak kunjung rampung, meski seluruh persyaratan administratif telah dipenuhi sesuai ketentuan.
“Semua berkas sudah lengkap, kajian teknis dan lingkungan juga sudah diserahkan. Tapi entah kenapa, dokumen itu seperti sengaja diperlambat. Ada kesan, kalau tidak ada setoran tambahan, berkas kita akan terus tertahan,” ujar Yoyok saat ditemui di Probolinggo, Sabtu (4/10/2025).
Yoyok menyebut bahwa sistem pelayanan publik di Dinas ESDM Jatim kini justru menjadi ladang subur bagi praktik-praktik tidak sehat. Banyak konsultan dan pelaku usaha yang mengeluhkan “biaya tak resmi” dalam setiap tahapan pengurusan izin.
Permintaan uang yang tidak tercatat dalam ketentuan resmi disebut-sebut menjadi semacam “syarat tak tertulis” agar dokumen bisa segera ditandatangani atau diverifikasi.
“Kalau tidak ikut permainan mereka, berkas bisa ditumpuk berbulan-bulan. Ada juga yang katanya harus ‘koordinasi’ dengan pejabat tertentu agar proses bisa jalan. Ini sudah jadi rahasia umum,” ungkapnya.
Fenomena ini menurut Yoyok berbanding terbalik dengan semangat reformasi birokrasi dan digitalisasi pelayanan publik yang selalu digaungkan pemerintah. Padahal, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 telah mengatur dengan jelas mengenai tata cara pengurusan WIUP dan IUP melalui mekanisme sistem yang transparan.
Namun, realitanya di lapangan sangat jauh berbeda. Proses izin yang seharusnya selesai dalam hitungan bulan, justru bisa molor hingga bertahun-tahun tanpa kejelasan. Akibatnya, banyak pelaku usaha tambang yang akhirnya memilih jalur cepat melalui praktik ilegal.
Menjamurnya tambang ilegal di berbagai wilayah Jawa Timur, menurut Yoyok, bukan hanya akibat keserakahan pelaku usaha. Ia menegaskan bahwa akar masalah sebenarnya ada pada lemahnya sistem dan perilaku aparat birokrasi yang tidak profesional.
“Bagaimana masyarakat bisa taat aturan kalau izinnya saja dipersulit dan harus bayar lebih? Akhirnya orang berpikir, buat apa repot-repot urus resmi kalau malah dipersulit” tegasnya.
Kondisi ini menciptakan efek domino: tambang ilegal tumbuh subur, kerusakan lingkungan meningkat, dan potensi pendapatan daerah justru menguap. Padahal, sektor pertambangan di Jawa Timur menyimpan potensi besar untuk menopang ekonomi daerah jika dikelola dengan jujur dan transparan.
Dalam pernyataannya, Yoyok menggambarkan situasi di Dinas ESDM Jatim saat ini sebagai “Lingkaran Termul” atau Ternak Mulyono, istilah yang ia gunakan untuk menyindir sistem yang terus berputar dalam praktik saling menguntungkan di antara oknum pejabat dan pihak tertentu.
“Istilah ‘Termul’ itu bukan tanpa makna. Seperti lingkaran yang tidak pernah putus, selalu berputar di sekitar kepentingan kelompok tertentu. Yang di atas dapat bagian, yang di bawah ikut menikmati, sementara rakyat hanya jadi penonton,” kata Yoyok dengan nada getir.
Yoyok menduga praktik seperti ini sudah berlangsung lama dan sulit diberantas karena ada jaringan kekuasaan internal yang saling melindungi. Ia menilai, reformasi di tubuh Dinas ESDM Jatim hanya sebatas slogan tanpa implementasi nyata.
Tak tinggal diam, Yoyok mengaku telah melaporkan dugaan pungli ini langsung kepada Gubernur Jawa Timur serta menyurati DPRD Provinsi Jawa Timur untuk meminta dilakukannya Rapat Dengar Pendapat (RDP) terkait lemahnya penerapan SOP dan pelanggaran terhadap peraturan perundangan.
Namun hingga kini, laporan tersebut belum membuahkan hasil. Tidak ada klarifikasi resmi maupun tindakan nyata dari pihak Dinas ESDM. Bahkan, beberapa permohonan audiensi yang diajukan oleh Yoyok disebut tidak mendapat respons.
“Saya sudah kirim laporan tertulis dan bukti pendukung. Tapi sampai sekarang tidak ada tanggapan. Ini membuktikan bahwa mereka memang tidak punya niat untuk berbenah,” ujarnya.
Sebagai langkah solutif, Yoyok mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk segera melakukan reformasi tata kelola perizinan tambang secara menyeluruh. Salah satu langkah konkret yang ia usulkan adalah digitalisasi sistem izin, di mana setiap tahapan bisa dilacak secara online dan terbuka untuk publik.
“Kalau sistemnya digital dan terintegrasi, tidak ada lagi ruang untuk pungli. Semua bisa dipantau, mulai dari waktu pengajuan hingga persetujuan akhir. Publik juga bisa melihat siapa yang mengulur waktu,” tegasnya.
Ia juga menilai perlu adanya pengawasan langsung dari aparat penegak hukum, baik dari Kejaksaan maupun Kepolisian, untuk menelusuri dugaan keterlibatan oknum pejabat di balik praktik pungli tersebut.
Kasus dugaan pungli di Dinas ESDM Jatim ini menjadi cermin bahwa reformasi birokrasi belum sepenuhnya berjalan di daerah. Keterlambatan izin, permintaan dana tidak resmi, dan lemahnya pengawasan hanyalah puncak gunung es dari persoalan yang lebih dalam mental korup dan budaya feodal di tubuh birokrasi.
Publik kini menunggu keberanian Gubernur Jawa Timur dan lembaga penegak hukum untuk turun tangan. Karena jika tidak, lingkaran “Termul” yang disebut Yoyok akan terus berputar, menghisap potensi sumber daya alam dan merugikan masyarakat luas.
Tim-Redaksi