Kuansing, 1detik.asia -
Saya melihat langsung kondisi di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), dan sangat menyayangkan—betapa sulitnya menemukan pejabat atau pemimpin di sana yang benar-benar peduli terhadap nasib rakyat kecil. Kasus perambahan hutan merajalela di hampir setiap sudut wilayah Kuansing, sementara masyarakat kecil menjadi korban. Para pejabat? Entah ke mana.
Salah satu bukti nyata dari ketidakadilan ini adalah kasus kebun karet milik Pak Sonter, warga miskin dari Desa Pangkalan Indarung, Kecamatan Singingi. Kebun karet seluas 1 hektare yang selama puluhan tahun menjadi sumber penghidupan bagi keluarganya, telah dirusak secara keji oleh mafia tanah dan sekelompok orang rakus yang hanya ingin memperkaya diri.
Sampai hari ini, tidak satu pun aparat penegak hukum (APH) atau pejabat di Kuansing yang peduli terhadap nasib Pak Sonter. Jika saja ada satu hati yang terbuka di antara mereka, jika saja mereka mau melihat penderitaan rakyat kecil seperti Pak Sonter, mungkin keadilan bisa ditegakkan. Setiap kali saya bertemu beliau, saya menangis. Penampilannya lusuh, tubuhnya kurus, wajahnya polos—cerminan kemiskinan dan keputusasaan. Dan justru karena saya pernah merasakan hal yang sama, hati saya tergerak membela kasus ini dengan sepenuh jiwa, secara sukarela.
Kepada APH Kuansing!
Perlu dipahami, tidak ada hubungan antara penegakan hukum soal kawasan hutan lindung dengan tindakan perusakan terhadap barang atau harta milik warga. Di mana pun letak harta benda tersebut, jika dirusak oleh orang lain, itu adalah tindak pidana!
Pengalaman saya dan tim di Labuhanbatu Utara (Labura), Sumatera Utara, menjadi bukti. Saat kami membela masyarakat dalam kasus perusakan tanaman dan barang di kawasan hutan lindung mangrove, pelaku langsung diproses hukum dan dijebloskan ke penjara. Kenapa? Karena pokok perkara adalah perusakan barang, bukan soal kawasan hutan lindung.
Bahkan pihak dari Dinas Kehutanan dan Gakkum menyatakan dengan tegas:
"Kami saja tidak punya wewenang merusak tanaman atau barang milik masyarakat di kawasan hutan lindung. Jika tanaman itu berada di dalam kawasan hutan (KH), kami akan menggugat status lahannya terlebih dahulu. Setelah inkrah, barulah kami mengambil tindakan terhadap tanaman tersebut."
Lalu, mengapa kasus perusakan lahan karet milik Pak Sonter justru berjalan lambat?
Apakah karena ada keterlibatan oknum anggota DPRD Provinsi Riau berinisial Ksr, ST?
Dari hasil olah tempat kejadian perkara (TKP) yang dilakukan oleh penyidik Polres Kuansing, diketahui bahwa lahan karet milik Pak Sonter bersebelahan langsung dengan lahan milik oknum DPRD tersebut. Alat berat yang digunakan untuk merusak kebun karet juga diketahui merupakan milik oknum tersebut. Bahkan operator alat berat mengaku melakukan perusakan atas perintah seseorang bernama Efrizal, yang merupakan anak buah dari oknum DPRD itu.
Jika fakta-fakta ini benar adanya, maka jelas sudah bahwa hukum di negeri ini masih saja tajam ke bawah, tumpul ke atas.
Saya menyerukan, atas nama keadilan dan kemanusiaan—hentikan pembiaran terhadap penderitaan rakyat kecil! Tegakkan hukum tanpa pandang bulu!
(Sarmin)