Setelah bertahun-tahun publik mendesak, akhirnya Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, memperlihatkan ijazah aslinya.
Tapi bukan di pengadilan, bukan di depan rakyat yang mempertanyakannya. Dia pamer ijazah di hadapan Budi Arie Setiadi dan rombongan Projo. Ironis, bahkan tragis.
Bukankah yang mempertanyakan keaslian ijazah itu rakyat Indonesia? Bukankah publik yang menuntut transparansi dari seorang bekas pejabat publik tertinggi di negeri ini? Lalu kenapa yang diperlihatkan justru kepada para penyembahnya.
Bukankah mereka ini yang sejak awal sudah percaya tanpa perlu bukti? Ini seperti seorang terdakwa yang memperlihatkan barang bukti hanya kepada pengacara pribadinya.
Bukan kepada hakim dan jaksa yang sedang mengadili perkaranya. Ini Drakor lagi. Drama kotor!
Lebih ironis lagi, Jokowi sendiri berkali-kali menegaskan bahwa dirinya hanya akan menunjukkan ijazah asli di pengadilan.
“Kalau ijazah asli diminta hakim, diminta pengadilan untuk ditunjukkan, saya siap datang dan menunjukkan ijazah asli yang ada,” katanya di Solo, 16 April 2025.
Ngeles lagi, Drakor lagi!
Tapi apa yang terjadi. Jokowi kembali berbohong. Ketika pengadilan betul-betul memproses perkara ijazahnya, dia tak pernah muncul.
Dalam sidang dan mediasi di PN Solo, Jokowi mangkir. Kuasa hukumnya berdalih, “tidak ada kewajiban hukum untuk memperlihatkan kepada pihak yang tidak berwenang.” Ngeles lagi. Drakor alias drama kotor lagi!
Padahal, di situlah letak masalahnya. Jika benar ijazah itu asli, apa sulitnya memperlihatkan ke pengadilan?
Bukankah itu justru akan menutup perdebatan panjang, sekaligus membersihkan nama baiknya di hadapan seluruh rakyat Indonesia? Atau jangan-jangan, justru di situlah letak ketakutannya.
Karena di pengadilan, ijazah bukan hanya “dilihat”, tapi diperiksa. Nomor seri bisa diverifikasi. Nama di dokumen bisa dicocokkan dengan arsip sekolah.
Tahun kelulusan bisa di-crosscheck dengan daftar alumni. Bahkan tandatangan rektor dan cap fakultas bisa dibandingkan dengan dokumen resmi universitas pada tahun yang sama.
Singkatnya, keaslian ijazah akan diuji secara hukum dan administratif. Bukan sekadar diperlihatkan sambil ngopi di ruang tamu rumah pribadi.
Itulah yang tampaknya ditakuti. Bukan takut pada ijazah itu sendiri, tapi pada proses verifikasi yang menyertainya.
Karena verifikasi berarti membuka kemungkinan perbandingan, audit, dan pencocokan data.
Dan di era digital seperti sekarang, tak ada lagi ruang untuk sekadar “katanya asli”. Semuanya bisa dilacak, difoto, dan diuji publik.
Langkah Jokowi memperlihatkan ijazah kepada Projo juga memperlihatkan sesuatu yang lain: bahwa relasi antara kekuasaan dan relawan masih terus hidup.
Dia seolah ingin memastikan bahwa barisan pendukungnya tetap solid. Tetap percaya kepadanya. Tetap siap mengawal narasi yang dibangunnya.
Budi Arie pun dengan cepat menegaskan, “Udah asli, asli ijazah Jokowi.” Pernyataan itu segera viral. Seolah menjadi stempel sakral dari tuan relawan kepada sang patron.
Padahal, buat publik berakal waras, pernyataan itu hanya kembali membuktikan bahwa para penyembah Jokowi memang ber-IQ rata-rata cuma 58.
Bukti hukum, bukan testimoni!
Publik sama sekali tidak butuh testimoni Budi Arie. Publik butuh bukti hukum. Karena mandat kepemimpinan Jokowi berasal dari rakyat, bukan dari Projo.
Maka yang berhak tahu kebenaran ijazah itu adalah seluruh rakyat Indonesia. Bukan segelintir loyalis yang hidup dari recehan yang dibarter dengan pujian kepada majikan.
Kisah “ijazah asli” yang ditunjukkan di ruang privat ini akhirnya hanya menambah panjang daftar sandiwara kekuasaan.
Semakin ditutupi, semakin besar rasa curiga. Semakin sering dibela oleh para relawan, semakin menegaskan bahwa kebenaran memang belum sepenuhnya tampil di ruang terang.
Kalau memang asli, buktikan di tempat yang seharusnya. Di pengadilan, di hadapan publik. Di bawah sumpah hukum.
Itulah satu-satunya cara untuk menghentikan perdebatan ini secara terhormat dan bermartabat.
Sebab kalau keaslian hanya ditunjukkan kepada para penyembah, itu bukan transparansi. Itu kultus.
Dan republik ini terlalu mahal untuk dibiarkan tenggelam dalam kultus individu yang menukar kebenaran dengan loyalitas.
Sebab di atas segalanya, bangsa ini butuh pemimpin yang jujur. Bukan pemain sandiwara yang pandai menata panggung. Bukan koruptor kelas dunia yang keranjingan berbohong dan terus berbohong. ***

.png)
