www.1detik.info _ Probolinggo, Aldizhar M. J. seorang anak berusia 4 tahun harus menunggu hingga lima jam di ruang observasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) tanpa kepastian padahal sesuai standar pelayanan kesehatan waktu maksimal observasi pasien di IGD adalah tiga jam, terutama untuk anak-anak yang membutuhkan penanganan prioritas (13/12/2024)
Aldizhar dibawa ke IGD oleh keluarganya dan langsung mendapatkan tindakan awal berupa pemasangan infus. Administrasi telah diselesaikan bahkan kamar rawat inap sudah disetujui namun hingga lebih dari 4,5 jam berlalu, tidak ada kejelasan mengenai pemindahan Aldizhar ke ruang rawat inap, Kondisi ini memicu rasa kecewa dan frustrasi dari pihak keluarga yang merasa diabaikan.
“Anak kami seharusnya sudah mendapatkan ruang perawatan yang layak, tetapi dibiarkan menunggu tanpa alasan yang jelas. Kami sudah memenuhi semua prosedur, termasuk administrasi. Apa lagi yang harus kami lakukan?” keluh orang tua Aldizhar.
Dalam pelayanan kesehatan, waktu observasi maksimal di IGD adalah 3 jam, sebagaimana diatur dalam pedoman pelayanan medis nasional, SOP ini dibuat untuk memastikan bahwa pasien mendapatkan tindakan cepat, termasuk dipindahkan ke ruang rawat inap, ICU, atau rujukan lebih lanjut.
Adapun langkah-langkah yang harus diikuti rumah sakit dalam SOP observasi adalah:
1. Triase dan Stabilisasi Awal
Pasien diperiksa untuk menentukan tingkat keparahan dan diberi tindakan stabilisasi.
2. Durasi Observasi Maksimal 3 Jam
Selama waktu ini, tenaga medis harus mengambil keputusan untuk tindakan lanjutan.
3. Komunikasi dan Transparansi
Jika terjadi kendala, keluarga pasien harus diberi penjelasan secara jelas dan detail.
Dalam kasus Aldizhar, tidak ada alasan yang dapat membenarkan keterlambatan hingga melebihi 4,5 jam. Pelanggaran SOP ini tidak hanya mencoreng nama Rumah Sakit itu sendiri, tetapi juga mengancam hak pasien untuk mendapatkan pelayanan yang layak.
Pelayanan medis terhadap anak memiliki perhatian khusus yang diatur dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Anak-anak harus mendapatkan prioritas pelayanan medis karena mereka lebih rentan terhadap perubahan kondisi kesehatan. Dalam hal ini, kelalaian Rumah Sakit Rizani Paiton menunjukkan kurangnya kesadaran terhadap hak dan perlindungan anak.
Keterlambatan penanganan hingga 4,5 jam menunjukkan buruknya pengelolaan fasilitas dan koordinasi internal rumah sakit. Pasien anak seharusnya menjadi prioritas utama, tetapi kenyataannya, Aldizhar justru diabaikan. Tidak hanya melanggar SOP, rumah sakit ini juga mengabaikan hak dasar pasien dan perlindungan anak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Terkait pelanggaran ini, Dinas Kesehatan Kabupaten Probolinggo harus segera melakukan investigasi mendalam. Kasus seperti ini tidak boleh dianggap sepele karena mencoreng kepercayaan masyarakat terhadap sistem pelayanan kesehatan di daerah tersebut.
Kejadian ini menjadi peringatan serius bagi seluruh rumah sakit di Indonesia. Pelayanan kesehatan bukan sekadar formalitas administrasi, tetapi tanggung jawab besar yang melibatkan nyawa pasien. Anak-anak, sebagai kelompok yang rentan, harus mendapatkan perhatian lebih, bukan justru diabaikan seperti yang dialami Aldizhar Mustofa Juna.
Masyarakat berharap agar kejadian ini menjadi pelajaran berharga. Pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan Probolinggo, harus memastikan peraturan ditegakkan dengan tegas agar tidak ada lagi pasien yang mengalami nasib serupa.