Jelajahi

Kategori
Best Viral Premium Blogger TemplatesPremium By Raushan Design With Shroff Templates

Iklan

Akta Jual Beli Membeli Kembali

Haris Dermawan
Kamis, 06 Juni 2024
Last Updated 2024-06-05T17:46:32Z
Premium By Raushan Design With Shroff Templates
masukkan script iklan disini

OPINI HUKUM

Akta Jual Beli Membeli Kembali

Di kalangan masyarakat, praktek jual beli tanah dengan hak membeli kembali masih kerap dijumpai. Berbeda dari jual beli tanah pada umumnya di dalam skema jual beli tanah dengan hak membeli kembali, si penjual diberi hak oleh si pembeli untuk membeli tanah yang telah ia jual dalam jangka waktu tertentu, apabila jangka waktu tersebut telah lampau maka si penjual akan kehilangan haknya untuk membeli kembali tanah tersebut. Bagaimana pandangan hukum terkait praktek jual beli tanah dengan hak membeli kembali tersebut?.

Ketentuan jual beli dengan hak membeli kembali mulanya dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pedata, dalam Pasal 1519 yang mengatur bahwa “Kekuasaan untuk membeli kembali barang yang telah dijual, timbul karena suatu perjanjian, yang tetap memberi hak kepada penjual untuk mengambil kembali barang yang dijualnya dengan mengembalikan uang harga pembelian asal dan memberikan penggantian yang disebut dalam Pasal 1532”. Penggantian yang dimaksud yaitu biaya yang telah dikeluarkan oleh pihak pembeli untuk menyelenggarakan pembelian serta penyerahannya, termasuk juga biaya-biaya pembetulan dan pengeluaran-pengeluaran yang menyebabkan barang yang dijual bertambah harganya.

Apabila dicermati lebih lanjut skema jual beli dengan hak membeli kembali sebenarnya tak lain merupakan perjanjian hutang piutang dengan “objek yang diperjualbelikan” sebagai agunannya. Si pembeli memberikan uang pembayaran yang tak lain merupakan pinjaman, dan si penjual akan menebus barang yang dijual dengan membeli kembali barang ketika ia sudah memiliki uang. Dari penjabaran tersebut, skema jual beli dengan hak membeli kembali mirip dengan lembaga gadai (untuk benda bergerak) atau lembaga hipotek / hak tanggungan (untuk benda tetap).

Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) segala kententuan mengenai pertanahan nasional harus merujuk pada UUPA, sehingga ketentuan mengenai hukum pertanahan dalam KUHPerdata tidak lagi berlaku. Begitu pula aturan mengenai hak untuk membeli kembali yang tidak dapat diberlakukan terhadap jual beli tanah. Lebih lanjut, hukum tanah nasional yang berlaku di Indonesia pasca adanya UUPA ialah hukum adat, di dalam hukum adat sendiri tidak dikenal jual beli dengan hak membeli kembali. Alasannya, jual beli dengan hak membeli kembali tidak memenuhi prinsip jual beli tanah dalam hukum adat, yaitu prinsip “terang” dan “tunai”. Terang artinya perbuatan jual beli dan peralihan hak atas tanah tidak boleh samar dan harus disaksikan oleh pihak ketiga. Tunai berarti peralihan hak atas tanah terjadi bersamaan dengan pembayaran harga beli dari si pembeli. Kemudian, dalam hukum tanah nasional juga telah tersedia suatu lembaga jaminan tersendiri yaitu hak tanggungan. Hal mana hal tanggungan ialah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah untuk pelunasan utang tertentu.

Maka dari itu, dari kacamata hukum tanah nasional praktek jual beli tanah dengan hak membeli kembali merupakan suatu penyelundupan hukum. Hal mana Mahkamah Agung telah mengeluarkan yurisprudensi atas hal tersebut, Putusan Mahkamah Agung (Perkara PK) No.78/PK/Pdt/1984 tanggal 9 April 1987 menerangkan bahwa Akta Notaris yang dibuat dengan Materi suatu perjanjian hutang piutang dengan jaminan tanah/rumah yang dibungkus sebagai satu perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali yang tujuannya digunakan untuk melakukan peralihan hak atas tanah debitor kepada kreditor bilamana debitor wanprestasi, maka hal demikian itu adalah sutau perjanjian semu atau pura-pura dan harus dinilai sebagai perjanjian hutang piutang. Selanjutnya, Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1729 PK/Pdt/2004 menegaskan jual beli dengan hak membeli kembali dalam Pasal 1519 KUHPerdata, adalah tidak diperbolehkan, karena Perjanjian jual beli dengan hak membeli kembali adalah perjanjian hutang-piutang yang terselubung (semu) dan tidak sesuai dengan hukum adat yang tidak mengenal jual beli dengan hak untuk membeli kembali. Oleh sebab itu, perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali harus dianggap batal demi hukum.

Proses dalam perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali juga menyalahi asas dalam hukum jaminan, yakni dalam hal debitor wanprestasi kreditor tidak boleh serta merta mendaku objek jaminan menjadi hak milik kreditor sebagai pelunasan hutang. Dalam hukum jaminan, pelunasan hutang manakala debitor wanprestasi ialah dengan melakukan lelang dan kemudian mengambil sejumlah uang sesuai dengan jumlah hutang yang belum dilunasi. Selain itu, ketidakadilan bagi penjual / debitor juga akan terjadi manakala pembeli / kreditor memberikan harga jual kembali (harga tebus) yang jauh lebih tinggi dari harga jual awal. Oleh sebab itu, praktek jual beli dengan hak membeli kembali dapat dikatakan sebagai praktek rentenir terselubung.

Proses dalam perjanjian jual beli tanah dengan hak membeli kembali juga menyalahi asas dalam hukum jaminan, yakni dalam hal debitor wanprestasi kreditor tidak boleh serta merta mendaku objek jaminan menjadi hak milik kreditor sebagai pelunasan hutang. Dalam hukum jaminan, pelunasan hutang manakala debitor wanprestasi ialah dengan melakukan lelang dan kemudian mengambil sejumlah uang sesuai dengan jumlah hutang yang belum dilunasi. Selain itu, ketidakadilan bagi penjual / debitor juga akan terjadi manakala pembeli / kreditor memberikan harga jual kembali (harga tebus) yang jauh lebih tinggi dari harga jual awal. Oleh sebab itu, praktek jual beli dengan hak membeli kembali dapat dikatakan sebagai praktek rentenir terselubung.

Kendati demikian, jual beli dengan hak membeli kembali masih tetap dipraktekkan bahkan perjanjianya tak jarang dituangkan dalam akta notaris. Akta notaris sebagai akta yang dibuat pejabat publik tunduk pada asas praduga sah (vermoeden van Rechtmatigheid), sehingga harus dianggap sah dan mengikat para pihak sebelum dinyatakan batal demi hukum oleh pengadilan. Dengan demikian, pembatalan akta notaris yang berisi jual beli tanah dengan hak membeli kembali harus diajukan ke pengadilan negeri.

Daftar Pustaka:

1. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, isi dan pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta, 1997.

2. Hadikusuma, Hilman, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, CV

3.Mandar Maju, Bandung.

4. Habib Adjie, Kebatalan Dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung, 2011.

5.Wardah, Penyalahgunaan Keadaan Dalam Perjanjian Jual Beli Dengan Hak Membeli Kembali (Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 3191 K/Pdt/2016).

6.Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

7.Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.

8.Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

9.Putusan Mahkamah Agung (Perkara PK) No.78/PK/Pdt/1984 tanggal 9 April 1987.

10.Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1729 PK/Pdt/2004.

Penulis Redaksi

iklan
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Stars Rally to Beat Predators in Winter Classic at Cotton Bowl

Iklan